DINAMIKA PSYCHOLOGICAL
WELL-BEING INDIVIDU YANG
MENDERITA PENYAKIT KUSTA YANG DI ISOLASI
Nur Iqrimah Yuwono, M. Roni Wahyuddin, Annisa
Putri, Dr.Cholichul Hadi, psikolog
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia
Dibuat untuk memenuhi tugas Psikologi Humanistik A
Abstrak
Psychological
well-being merupakan keadaan
dimana seseorang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya untuk menjadi optimal
secara psikologis (Ryff & Singer, 1966). Dinamika kesejahteraan psikologis
seorang penderita kusta akan mengalami kendala dalam memenuhi kebutuhannya,
terlebih pada penderita kusta yang di isolasi. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan observasi dan wawancara pada penderita kusta yang di isolasi
secara langsung. Penelitian ini
sendiri bertujuan untuk melihat
bagaimana dinamika psychological
well-being pada individu yang
menderita penyakit kusta yang di isolasi dalam melihat bagaimana cara individu
tersebut untuk memenuhi kebutuhan kesejahteraan psikologisnya.
Kata
Kunci: psychological
well-being, penderita kusta, isolasi
Problem
Menurut
data WHO di tahun 2011, tercatat 219.075 kasus baru kusta di dunia dengan
prevalensi 4,06 per 10.000 penduduk. Menurut profil data kesehatan Indonesia
tahun 2011, terdapat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan prevalensi
8,03 per 100.000 penduduk. Analisis survey yang dilakukan dalam studi oleh Hugh
Cross (2013), menemukan bahwa saat ini jumlah penderita kusta di Indonesia
masih termasuk menempati penderita kusta terbanyak di dunia. Sempat pada
pertengahan tahun 2000, Indonesia sudah dapat mencapai eliminasi kusta yang
ditargetkan, akan tetapi data yang dilaporkan jumlah penderita baru sampai saat
ini tidak menunjukkan adanya penurunan yang begitu bermakna (berdasarkan
laporan Hugh Cross dalam American
Leprosy Minions, 2013).
Penyakit
kusta sendiri sebenarnya bisa
disembuhkan, namun memang diperlukan penanganan yang menyeluruh, tidak hanya
secara medis saja, namun juga diperlukan adanya pendekatan secara psikologis
(Dr. Benjamin Sihombing, dalam Rafferty 2005). Penderita kusta yang
diisolasi/dikucilkan akan mengalami kurangnya dukungan dari lingkungannya (lack
of social support), tentu akan memiliki perasaan
malu dan tidak nyaman dengan kondisi dirinya, lalu memandang negatif tentang
dirinya, kemudian hal tersebut dapat menimbulkan juga hilangnya harga diri (loss
of self-esteem) yang bisa mengarah pada runtuhnya kendali emosi yang
berujung pada depresi (Ryff & Singer, 1996). Oleh karena itu penelitian ini
penting untuk dilakukan.
Pentingnya
Tema
Menurut
Joy Rafferty (2005), dengan adanya fenomena nyata seperti penderita kusta yang
di isolasi, maka dapat mempengaruhi kerusakan pada kesejahteraan fisik, sosial,
psikologis dan bahkan ekonomi mereka. Banyak
penderita kusta yang mengalami kesulitan pemenuhan kebutuhan kesejahteraannya
terutama dikarenakan pada faktor rendahnya dukungan sosial, kehilangan harga
diri, dan menurunnya rasa hormat dari masyarakat. Tidak heran jika para pengidap kusta
diperlakukan seperti sampah yang harus disingkirkan atau dibuang. Kenyataan
seperti itu ternyata masih saja terjadi di kota-kota besar, bahkan hingga kini.
Bahkan masih banyak yang mempercayai penyakit kusta sebagai penyakit kutukan
dan kurangnya dukungan yang diberikan oleh masyarakat.
Penelitian ini menjadi penting
karena saat ini banyak penderita kusta yang di isolasi dan kurang mendapatkan
dukungan yang optimal, jadi diharapkan setelah adanya penelitian ini akan
mendorong masyarakat untuk
memberikan perasaan kasih sayang, harga diri, dan respek kepada penderita
kusta. Sehingga hal tersebut juga akan mendorong semangat positif terhadap
penderita dalam memenuhi kebutuhannya. Dukungan penuh dari orang-orang yang
disayangi dan hubungan personal yang lebih dalam akan mempermudah pemenuhan psychological well-being bagi kaum penderita.
Metode
Teknik
penggalian data yang digunakan pada penelitian kali ini adalah wawancara
semi-structured pada subjek dan significant
others untuk mendapatkan
mendapatkan data yang spesifik dan melakukan analisis secara mendalam apa saja
yang dialami subjek dan bagaimana subjek berperan. Wawancara semi-structured
dilaksanakan berdasarkan dengan pedoman umum yang berisi hal-hal penting yang
harus digali agar wawancara berlangsung dengan fokus. Wawancara ini mencakup
percakapan berupa tanya jawab yang diarahkan mencapai tujuan tertentu.
(Banister dkk, 1994, dalam Poerwandari, 2005).
Sampel
Sampel
yang digunakan adalah penderita kusta aktif yang berusia 25-60 tahun dan berada
di Indonesia. Penderita mengalami proses isolasi sosial (diasingkan di suatu
tempat). Sampel akan dilakukan sebanyak 10 pria dan 10 wanita. Tidak ada
ketentuan mengenai budaya, pendidikan, kepribadian dan latar belakang ekonomi.
Berdasarkan persentil dari Ditjen PP-PL Depkes RI kemudian akan dihitung sesuai
dengan jenis kelamin dan usia. Analisis kami didasarkan pada 6000 penderita
kusta yang di isolasi di Indonesia yang berusia 27-55. Jadi, usia rata-rata
penderita kusta dalam sampel adalah 46 tahun (80 persen dari sampel).
Hasil
Dari
hasil yang didapat, ditemukan bahwa parapenderita kusta kebanyakan kurang
merasa sejahtera dengan keadaan yang mereka rasakan. Sebanyak 7 orang (5
laki-laki dan 2 perempuan) merasa bahwa apa yang mereka butuhkan benar-benar
tidak dapat mereka penuhi dengan tepat dengan kondisi mereka yang terisolasi
dan menghasruskan mereka memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Sebanyak 8 orang
(5 perempuan dan 3 laki-laki) cenderung merasa sedikit kekurangan atas
kebutuhannya dengan kondisi yang mereka rasakan dan dari hasil mereka berusaha
dengan semampu mereka. Sedangkan sisanya, merasa sangat cukup dengan apa yang
mereka dapatkan bahkan dengan kondisi mereka yang terisolasi.
Saran
Dalam penyusunan penelitian ini,
peneliti menyadari adanya keterbatasan subjek serta metode analisis yang
digunakan. Penelitian ini
seharusnya dapat memberikan pengetahuan dari penggalian lebih dalam mengenai psychological well-being yang dialami oleh penderita kusta,
bukan hanya sekedar tinggi atau rendahnya psychological
well-being yang terjadi pada
mereka, namun juga memberikan gambaran secara lengkap mengenai faktor-faktor
apa saya yang dapat mempengaruhi psychological
well-being mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Cross, Hugh. (2013). The Prevention
of Leprosy Related Disability as an Integral Component of the Government Health
Delivery Programme in Indonesia: Perspectives on Implementation. American Leprosy Missions. 84,
219–228.
Poerwandari, E.K. (2005). Pendekatan
Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: LPSP3 UI.
Rafferty, Joy. (2005). Curing The
Stigma of Leprosy. Duncarse Rd
Dundee, United Kingdom.
Ryff, C.D. (1995). Psychological
Well-Being in Adult Life. Curr
Dir Psychol Sci. 4:99-104.
Kahneman,
D. & Krueger, A.B. 2006. Developments
in the Measurement of
Subjective
Well Being. Journal
of Economic Perspectives, 20: 3-24.
Diener, E. & Suh, E.M.
2000. Culture and
Subjective Well Being. MIT Press.
Berikut
ini adalah salah satu contoh kasus mengenai kehidupan penderita kusta
KEDIRI,
KOMPAS.com - Purwanto melatih otot jari-jarinya yang kaku dengan gagang
pintu yang dipasang di sebuah potongan kayu. Dengan gagang pintu itu, lelaki 36
tahun itu juga melatih sensitivitas saraf tepi di tangannya yang sudah dua
tahun terakhir mati rasa.
Melatih
otot dan sensitivitas saraf tangan adalah aktivitas sehari-hari bapak satu anak
ini setahun terakhir sejak menjadi pasien penyakit kusta di Rumah Sakit Kusta
Kota Kediri, Jawa Timur.
Purwanto
mengaku yakin akan sembuh dari penyakit yang menyiksanya secara fisik dan
mental itu. Dia juga akan membuktikan, kusta bukanlah penyakit turunan
atau bahkan penyakit kutukan.
"Penyakit
saya ini bisa disembuhkan secara medis, bukan penyakit kutukan seperti apa yang
dibilang orang-orang di kampung saya. Itu semua dusta belaka," kata
Purwanto, akhir pekan lalu.
Warga
Desa Gondang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur itu mengaku
menjadi korban stigma negatif masyarakat tentang kusta. Dia merasa diasingkan
oleh tetangga dan keluarga besarnya karena dia dianggap mengidap penyakit
kutukan. "Anak saya yang tidak tahu apa-apa juga jadi korban, dia dijauhi
oleh teman-teman bermainnya," ujar Purwanto.
Sikap
orang-orang di sekitarnya membuat Purwanto mengalami tekanan batin dan merasa
drop. Akhir Juni tahun lalu, dia pun memilih berobat ke RS Kusta Kediri.
Untungnya dia masih memiliki isteri yang masih setia menemaninya berobat inap
sampai saat ini.
Cerita
Purwanto ini jauh lebih baik dibanding nasib yang menimpa Fiki Hendra (48).
Kaki kiri warga Kecamatan Peterongan, Jombang, Jawa Timur itu harus diamputasi,
dan diganti dengan kaki palsu. Fiki pun menjadi cacat seumur hidup, karena
penanganan penyakit yang terbilang lambat.
Namun
ayah tiga orang anak itu mengaku tidak mengalami tekanan batin. Sebab orang-orang
di sekitarnya tidak pernah mengucilkan keberadaannya. "Mereka semua
mengerti dengan penyakit saya ini, kalau ada yang berani menghina, saya akan
pukul dia," tegas Fiki.
Fiki
yang baru sebulan menjadi pasien RS Kusta Kediri, saat ini hanya menunggu
pengerjaan kaki palsunya. Setelah itu, dia akan berupaya bangkit dan bekerja
apapun untuk menghidupi rumah tangganya.
Stigma
negatif masyarakat tentang penyakit kusta, diakui Kepala Rumah Sakit Kusta
Kediri, Nur Siti Maimunah. Kebanyakan penderita penyakit kusta dikucilkan dari
kehidupan sosial karena mereka takut penyakit tersebut menular.
"Masih
banyak yang menganggap, penyakit kusta adalah kutukan turun temurun dari keluarga,"
kata dia.
Atas
alasan itu, RS Kusta Kediri kerap menurunkan petugas untuk mengevakuasi
penderita kusta dari lingkungan sosialnya ke rumah sakit. Sebab, warga sekitar
bahkan keluarganya tidak berkenan mendekat apalagi merawatnya. Pun juga dengan
pasien yang dirawat, kadang mereka tidak mengaku kepada tetangga sekitarnya
jika dia sedang dirawat di rumah sakit Kusta. "Mereka kadang beralasan
kerja ke luar kota, padahal sedang dirawat di sini," terang Nur Siti.
Derita
pasien kusta bahkan berlanjut saat dia dinyatakan sembuh. Lingkungan sosial
masih kerap belum menerimanya 100 persen, karena itu mantan penderita kusta di
kebanyakan tempat masih menjauh dari lingkungan sosialnya. Mereka justru akrab
dengan kelompok sesama penderita kusta yang dihimpun Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang bergerak khusus menangani mantan penderita Kusta.
"Jangankan
diterima di lingkungan sosial, produk kerajinan tangan mantan penderita Kusta
saja saat ini masih sulit diterima masyarakat," ujar dia.
(dikutip
dari http://regional.kompas.com/read/2014/09/23/14502751/Stigma.Dusta.Penyakit.Kusta.
diakses pada tanggal 1 Desember 2014)