Rabu, 10 Desember 2014

DINAMIKA PSYCHOLOGICAL WELL-BEING INDIVIDU YANG MENDERITA PENYAKIT KUSTA YANG DI ISOLASI
Nur Iqrimah Yuwono, M. Roni Wahyuddin, Annisa Putri, Dr.Cholichul Hadi, psikolog
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia
Dibuat untuk memenuhi tugas Psikologi Humanistik A

Abstrak
Psychological well-being merupakan keadaan dimana seseorang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya untuk menjadi optimal secara psikologis (Ryff & Singer, 1966). Dinamika kesejahteraan psikologis seorang penderita kusta akan mengalami kendala dalam memenuhi kebutuhannya, terlebih pada penderita kusta yang di isolasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan observasi dan wawancara pada penderita kusta yang di isolasi secara langsung. Penelitian ini sendiri bertujuan untuk melihat bagaimana dinamika psychological well-being pada individu yang menderita penyakit kusta yang di isolasi dalam melihat bagaimana cara individu tersebut untuk memenuhi kebutuhan kesejahteraan psikologisnya. 
Kata Kunci: psychological well-being, penderita kusta, isolasi

Problem
Menurut data WHO di tahun 2011, tercatat 219.075 kasus baru kusta di dunia dengan prevalensi 4,06 per 10.000 penduduk. Menurut profil data kesehatan Indonesia tahun 2011, terdapat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk. Analisis survey yang dilakukan dalam studi oleh Hugh Cross (2013), menemukan bahwa saat ini jumlah penderita kusta di Indonesia masih termasuk menempati penderita kusta terbanyak di dunia. Sempat pada pertengahan tahun 2000, Indonesia sudah dapat mencapai eliminasi kusta yang ditargetkan, akan tetapi data yang dilaporkan jumlah penderita baru sampai saat ini tidak menunjukkan adanya penurunan yang begitu bermakna (berdasarkan laporan Hugh Cross dalam American Leprosy Minions, 2013).
Penyakit kusta sendiri sebenarnya bisa disembuhkan, namun memang diperlukan penanganan yang menyeluruh, tidak hanya secara medis saja, namun juga diperlukan adanya pendekatan secara psikologis (Dr. Benjamin Sihombing, dalam Rafferty 2005). Penderita kusta yang diisolasi/dikucilkan akan mengalami kurangnya dukungan dari lingkungannya (lack of social support), tentu akan memiliki perasaan malu dan tidak nyaman dengan kondisi dirinya, lalu memandang negatif tentang dirinya, kemudian hal tersebut dapat menimbulkan juga hilangnya harga diri (loss of self-esteem) yang bisa mengarah pada runtuhnya kendali emosi yang berujung pada depresi (Ryff & Singer, 1996). Oleh karena itu penelitian ini penting untuk dilakukan.

Pentingnya Tema
Menurut Joy Rafferty (2005), dengan adanya fenomena nyata seperti penderita kusta yang di isolasi, maka dapat mempengaruhi kerusakan pada kesejahteraan fisik, sosial, psikologis dan bahkan ekonomi mereka. Banyak penderita kusta yang mengalami kesulitan pemenuhan kebutuhan kesejahteraannya terutama dikarenakan pada faktor rendahnya dukungan sosial, kehilangan harga diri, dan menurunnya rasa hormat dari masyarakat. Tidak heran jika para pengidap kusta diperlakukan seperti sampah yang harus disingkirkan atau dibuang. Kenyataan seperti itu ternyata masih saja terjadi di kota-kota besar, bahkan hingga kini. Bahkan masih banyak yang mempercayai penyakit kusta sebagai penyakit kutukan dan kurangnya dukungan yang diberikan oleh masyarakat.
Penelitian ini menjadi penting karena saat ini banyak penderita kusta yang di isolasi dan kurang mendapatkan dukungan yang optimal, jadi diharapkan setelah adanya penelitian ini akan mendorong masyarakat untuk memberikan perasaan kasih sayang, harga diri, dan respek kepada penderita kusta. Sehingga hal tersebut juga akan mendorong semangat positif terhadap penderita dalam memenuhi kebutuhannya. Dukungan penuh dari orang-orang yang disayangi dan hubungan personal yang lebih dalam akan mempermudah pemenuhan psychological well-being bagi kaum penderita.

Metode
Teknik penggalian data yang digunakan pada penelitian kali ini adalah wawancara semi-structured pada subjek dan significant others untuk mendapatkan mendapatkan data yang spesifik dan melakukan analisis secara mendalam apa saja yang dialami subjek dan bagaimana subjek berperan. Wawancara semi-structured dilaksanakan berdasarkan dengan pedoman umum yang berisi hal-hal penting yang harus digali agar wawancara berlangsung dengan fokus. Wawancara ini mencakup percakapan berupa tanya jawab yang diarahkan mencapai tujuan tertentu. (Banister dkk, 1994, dalam Poerwandari, 2005).


Sampel
Sampel yang digunakan adalah penderita kusta aktif yang berusia 25-60 tahun dan berada di Indonesia. Penderita mengalami proses isolasi sosial (diasingkan di suatu tempat). Sampel akan dilakukan sebanyak 10 pria dan 10 wanita. Tidak ada ketentuan mengenai budaya, pendidikan, kepribadian dan latar belakang ekonomi. Berdasarkan persentil dari Ditjen PP-PL Depkes RI kemudian akan dihitung sesuai dengan jenis kelamin dan usia. Analisis kami didasarkan pada 6000 penderita kusta yang di isolasi di Indonesia yang berusia 27-55. Jadi, usia rata-rata penderita kusta dalam sampel adalah 46 tahun (80 persen dari sampel).

Hasil
Dari hasil yang didapat, ditemukan bahwa parapenderita kusta kebanyakan kurang merasa sejahtera dengan keadaan yang mereka rasakan. Sebanyak 7 orang (5 laki-laki dan 2 perempuan) merasa bahwa apa yang mereka butuhkan benar-benar tidak dapat mereka penuhi dengan tepat dengan kondisi mereka yang terisolasi dan menghasruskan mereka memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Sebanyak 8 orang (5 perempuan dan 3 laki-laki) cenderung merasa sedikit kekurangan atas kebutuhannya dengan kondisi yang mereka rasakan dan dari hasil mereka berusaha dengan semampu mereka. Sedangkan sisanya, merasa sangat cukup dengan apa yang mereka dapatkan bahkan dengan kondisi mereka yang terisolasi.
Saran
Dalam penyusunan penelitian ini, peneliti menyadari adanya keterbatasan subjek serta metode analisis yang digunakan. Penelitian ini seharusnya dapat memberikan pengetahuan dari penggalian lebih dalam mengenai psychological well-being yang dialami oleh penderita kusta, bukan hanya sekedar tinggi atau rendahnya psychological well-being yang terjadi pada mereka, namun juga memberikan gambaran secara lengkap mengenai faktor-faktor apa saya yang dapat mempengaruhi psychological well-being mereka.


DAFTAR PUSTAKA
Cross, Hugh. (2013). The Prevention of Leprosy Related Disability as an Integral Component of the Government Health Delivery Programme in Indonesia: Perspectives on Implementation. American Leprosy Missions. 84, 219–228.
Poerwandari, E.K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: LPSP3 UI.
Rafferty, Joy. (2005). Curing The Stigma of Leprosy. Duncarse Rd Dundee, United Kingdom.
Ryff, C.D. (1995). Psychological Well-Being in Adult Life. Curr Dir Psychol Sci. 4:99-104.
Kahneman,  D.  &  Krueger,  A.B.  2006. Developments  in  the  Measurement  of
Subjective  Well  Being.  Journal  of Economic Perspectives, 20: 3-24.
Diener,  E.  &  Suh,  E.M.  2000.  Culture  and Subjective Well Being. MIT Press.




Berikut ini adalah salah satu contoh kasus mengenai kehidupan penderita kusta

KEDIRI, KOMPAS.com - Purwanto melatih otot jari-jarinya yang kaku dengan gagang pintu yang dipasang di sebuah potongan kayu. Dengan gagang pintu itu, lelaki 36 tahun itu juga melatih sensitivitas saraf tepi di tangannya yang sudah dua tahun terakhir mati rasa.

Melatih otot dan sensitivitas saraf tangan adalah aktivitas sehari-hari bapak satu anak ini setahun terakhir sejak menjadi pasien penyakit kusta di Rumah Sakit Kusta Kota Kediri, Jawa Timur. 

Purwanto mengaku yakin akan sembuh dari penyakit yang menyiksanya secara fisik dan mental itu.  Dia juga akan membuktikan, kusta bukanlah penyakit turunan atau bahkan penyakit kutukan.

"Penyakit saya ini bisa disembuhkan secara medis, bukan penyakit kutukan seperti apa yang dibilang orang-orang di kampung saya. Itu semua dusta belaka," kata Purwanto, akhir pekan lalu.

Warga Desa Gondang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur itu mengaku menjadi korban stigma negatif masyarakat tentang kusta. Dia merasa diasingkan oleh tetangga dan keluarga besarnya karena dia dianggap mengidap penyakit kutukan. "Anak saya yang tidak tahu apa-apa juga jadi korban, dia dijauhi oleh teman-teman bermainnya," ujar Purwanto.

Sikap orang-orang di sekitarnya membuat Purwanto mengalami tekanan batin dan merasa drop. Akhir Juni tahun lalu, dia pun memilih berobat ke RS Kusta Kediri. Untungnya dia masih memiliki isteri yang masih setia menemaninya berobat inap sampai saat ini.

Cerita Purwanto ini jauh lebih baik dibanding nasib yang menimpa Fiki Hendra (48). Kaki kiri warga Kecamatan Peterongan, Jombang, Jawa Timur itu harus diamputasi, dan diganti dengan kaki palsu. Fiki pun menjadi cacat seumur hidup, karena penanganan penyakit yang terbilang lambat.

Namun ayah tiga orang anak itu mengaku tidak mengalami tekanan batin. Sebab orang-orang di sekitarnya tidak pernah mengucilkan keberadaannya. "Mereka semua mengerti dengan penyakit saya ini, kalau ada yang berani menghina, saya akan pukul dia," tegas Fiki.

Fiki yang baru sebulan menjadi pasien RS Kusta Kediri, saat ini hanya menunggu pengerjaan kaki palsunya. Setelah itu, dia akan berupaya bangkit dan bekerja apapun untuk menghidupi rumah tangganya.

Stigma negatif masyarakat tentang penyakit kusta, diakui Kepala Rumah Sakit Kusta Kediri, Nur Siti Maimunah. Kebanyakan penderita penyakit kusta dikucilkan dari kehidupan sosial karena mereka takut penyakit tersebut menular.

"Masih banyak yang menganggap, penyakit kusta adalah kutukan turun temurun dari keluarga," kata dia.

Atas alasan itu, RS Kusta Kediri kerap menurunkan petugas untuk mengevakuasi penderita kusta dari lingkungan sosialnya ke rumah sakit. Sebab, warga sekitar bahkan keluarganya tidak berkenan mendekat apalagi merawatnya. Pun juga dengan pasien yang dirawat, kadang mereka tidak mengaku kepada tetangga sekitarnya jika dia sedang dirawat di rumah sakit Kusta. "Mereka kadang beralasan kerja ke luar kota, padahal sedang dirawat di sini," terang Nur Siti.

Derita pasien kusta bahkan berlanjut saat dia dinyatakan sembuh. Lingkungan sosial masih kerap belum menerimanya 100 persen, karena itu mantan penderita kusta di kebanyakan tempat masih menjauh dari lingkungan sosialnya. Mereka justru akrab dengan kelompok sesama penderita kusta yang dihimpun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak khusus menangani mantan penderita Kusta.

"Jangankan diterima di lingkungan sosial, produk kerajinan tangan mantan penderita Kusta saja saat ini masih sulit diterima masyarakat," ujar dia.

(dikutip dari http://regional.kompas.com/read/2014/09/23/14502751/Stigma.Dusta.Penyakit.Kusta. diakses pada tanggal 1 Desember 2014)


Jumat, 07 November 2014

Rembulan Bulan Kering


Selarut ini
Rembulan masih bertengger
Manja
Rembulan masih setia


Sedini ini
Langit masih tenang
Menunggu fajar
dan cahaya lembut
Yang muncul dari sana


Semalam ini
Angin masih terdiam
Lembut penuh waspada
Membawa debudebu
Yang lahir entah darimana


Sementara langit
Masih anggun
Dalam gelap
Sementara angin
Masih kering
Tanpa mendung
Sedang rembulan
Bundar
Kuning
Polos
Cantik
Memeluk keduanya
Mesra
Cinta
Tanpa katakata
Temani langit gelap
Dan angin yang membasuh
Embun
Hingga sang fajar tiba
Hingga debu mulai berkelana
Hingga adzan menggema




Gazebo 1, 8 Agustus 2014 3:17

Selasa, 02 September 2014

TUHAN (tidak akan pernah) MEMBUSUK, kawan.


"Padahal dzat Tuhan itu identik dengan agama yang mengajarkan kedamaian untuk umat manusia" (Rahmat, dkutip dari sini

Malam ini saya nganggur banget malam ini di kampus. Sejenak sambil mendengarkan dan menonton video musik secara random di youtube dan menilik status teman-teman saya di facebook, saya berusaha menikmati kebiasaan saya yang beberapa waktu ini jarang saya lakukan lagi yakni begadang sampai pagi di kampus. Beberapa status dan beberapa video berhasil membuat saya terjaga sampai saya membaca status salah satu teman saya tentang pendapatnya mengenai ospek salah satu fakultas UIN Surabaya pada tahun 2014 ini. Pembaca mungkin bisa melihatnya sendiri di link yang saya kutip diatas.

Sedikit tertawa dan miris membacanya. Walaupun hanya dari satu sumber, saya tidak berkenan untuk mencari lebih jauh mengenai berita ini. Hemat saya, ujung-ujungnya hanya mendiskreditkan satu pihak. Namun saya tergelitik untuk menulis lewat blog saya ini, berharap pada suatu hari nanti dapat dijadikan pelajaran bagi para pembaca ataupun keluarga saya sendiri.Tentu saja, saya ingatkan bahwa ini pendapat pribadi dan tidak bermaksud menyinggung pihak-pihak terkait. Murni hanya pendapat pribadi. Jadi mohon maaf sebelumnya.

Oke, tema 'Tuhan Membusuk' menurut saya menggelikan. Hal yang terpikir oleh saya pertama kali adalah, "Wah, jiwa muda mahasiswa-mahasiswa ini, cukup bagus dan berani!". Hemat saya, mereka mencari identitas lewat tema yang mereka gunakan, dan itu dibagi sebagai kajian bagi mahasiswa-mahasiswa baru di tempat mereka. Saya sendiri berpikir bahwa mereka, para mahasiswa itu, berharap mereka menemukan pucuk teratas kebutuhan diri (yang telah dikonsep oleh Maslow). Mereka hanya mencari perhatian, dari sekitar, dari tuhannya. mencari titik tertinggi dari kebutuhan layaknya dijelaskan Maslow. Namun kembali mereka kurang matang memikirkan bagaimana akhirnya implementasi kedepannya bagi mereka, bagi mahasiswa baru dan bagi lingkungan akademika di sekitar mereka. Mereka juga kurang memikirkan bagaimana pendapat masyarakat mengenai hal ini. Masyarakat Indonesia, pada mayoritasnya masih menabukan konsep-konsep dan pertanyaan filosofis mengenai Tuhan.

Sejenak, kita juga seharusnya berpikir. Kalaupun tema ini dimunculkan karena melihat realita yang terjadi sekarang, maka hal ini tetap tidak pernah bisa digunakan. Karena pada dasarnya membusuk adalah kata sifat bagi sebuah benda. Sedangkan, Tuhan, yang manapun bukan semata-mata sebuah benda. Oke, saya melihatnya dari sudut padan saya sendiri sebagai orang Islam. Allah itu dzat, bukan semata-mata benda, makhluk atau entitas non-kekal apapun. Dia Maha Kekal. Membusuknya Tuhan tak akan pernah terjadi. Hal yang mungkin terjadi adalah membusuknya konsep mengenai Tuhan, dalam otak manusia itu sendiri. Selain itu juga pembusukan itu semakin terlihat dari perilaku manusianya. Jika dalam berita diterangkan tema itu dipilih karena banyak kalangan menggunakan agama dalam kepentingan politik dan lainnya, maka diksi yang digunakan dalam tema yang menggelitik itu juga tetap salah.


Intinya, pendapat saya adalah tema itu kurang pantas. Dari penulisannya, dari bahasanya. Namun temanya, lumayan jos tapi bukan sebagai tema ospek, lebih tepat untuk diskusi (mengutip pendapat teman saya @wahyusays ketika mengobrol ringan mengenai berita ini). Namun kita jangan lupa, mari kita berpikir alasan pihak dewan mahasiswa fakultas tersebut menggunakan tema ini. Agama memang digunakan sebagai alasan, seakan-akan semuanya akan halal jika untuk kepentingan agama. Mengutip Karl Max, bahwa 'agama adalah candu', maka kurang lebih tepat juga. Agama menjadi alasan terakhir seseorang berbuat semena-mena. Orang-orang yang mendapat keuntungan akhirnya ketagihan menggunakan kedok agama untuk mengeruk keuntungan lebih banyak. Dari sini, akhirnya agama hanya digunakan sebagai pemuas nafsu, kan? Bukan sebagai alasan dasar seseorang dalam bertindak, kan? Konsep ini juga yang menurut saya sebagai titik membusuknya Tuhan, dalam pemikiran manusia. Tapi ingat tulisan saya diatas, bahwa GOD is not a thing. Tuhan adalah dzat, tidak terbantahkan.

Akhir kata, mari kita kita kembali berpikir bagaimana konsep kita tentang Tuhan. Apapun konsep anda, terlepas benar atau salah, saya berdoa bahwa hal itu akan terus anda evaluasi dan anda pegang teguh. Mari kita juga mengevaluasi bagaimana kita berbahasa, karena lidah kita adalah senjata tertajam yang Tuhan berikan untuk kita. Sekali lagi saya tekankan bahwa hal ini murni pemikiran dan pendapat saya. Dan mohon maaf jika menyinggung pihak-pihak tertentu. Sekian dari saya, tetap jaga kesehatan, tetap semangat, selalu bahagia dan absurdlah pada saat tertentu! Sampai jumpa!

Kamis, 19 Juni 2014

"SAYA TIDAK MERASA PUNYA PILIHAN KALI INI"

Hingar bingar politik kembali kita rasakan di tahun 2014 ini. Negeri ini kembali merasakan geliat dan berkubang dalam emosi untuk menentukan pemimpin Indonesia 5 tahun kedepan. Segala macam dipertaruhkan untuk mendukung calon-calon yang ada. Baik atau buruk tidak jadi masalah. Yang penting hati senang, calon yang didukung menang, dan berharap hidup jadi tenang. Namun, bagaimana jika ada yang tidak puas dengan pesta demokrasi kali ini?

Untuk saya sendiri, kali ini adalah pemilu kedua yang bisa saya ikuti. Kalau pada pesta yang kemarin sudah memilih presiden, maka kali ini saya memutuskan untuk berhenti sejenak dan menikmati segala berita, omongan, obrolan, tayangan dan segala yang berhubungan dengan pemilu kali ini lewat media. Begitu pula dengan pemilihan anggota legislatif lalu. Caleg terlalu banyak, maka menurut saya kemungkinan mereka nggedabrus bin nggacor bin nyocot untuk menarik dukungan masyarakat makin tinggi. Belum lagi para artis yang juga nampang di kertas suara. Sudah enak jadi artis, eh malah coba-coba jadi anggota legislatif. Bahkan ada artis yang bilang, mereka nyaleg karena Cuma ingin tahu rasanya jadi penyambung lidah masyarakat! Apa enggak kebacut itu? Suara kita hanya dibuat main-main dan pemenuhan rasa ingin tahu mereka. Mungkin anda-anda merasa saya golput, ya saya luruskan bukan golput tapi ‘golongan nol’. Karena saya sendiri merasa tidak memiliki pilihan yang mantap di hati. Kalau memang tidak ada yang sreg, tidak memilih juga tidak masalah kan?

Jika ada yang bilang bahwa tidak memilih maka tidak mendukung kemajuan bangsa, maka belum tentu juga yang saya pilih akan jadi dan mendukung kemajuan bangsa lewat janji-janjinya kan? Kalau juga saya dibilang munafik, ya memang disini taraf kejujuran saya. Jujur pada diri sendiri untuk tidak memilih dulu. Ibarat siswa ujian masuk perguruan tinggi, daripada berharap dapat nilai 4 karena jawaban benar namun ternyata salah dan mendapat -1, maka ya 0 saja. Karena saya sendiri dibesarkan di keluarga militer (walaupun sebenarnya jarang juga mendapat perlakuan dan kemudahan ala keluarga militer lain yang lebih tinggi pangkatnya) dan di sebuah keluarga yang menghargai pilihan selama dikomunikasikan dengan keluarga, maka ya saya anggap sah saja jika saya untuk kali ini diam, sejenak mengamati hingga 5 tahun.

Mungkin juga beberapa dari anda akan berpikir, “Wah ini yang nulis mahasiswa, nggak jelas lulusnya kapan juga. Tukang demo nih nanti!”, saya ya mesem saja. Saya sendiri belum tentu juga tahu dimana nanti muncul masalah yang bakal timbul di era kepemimpinan presiden terpilih 2014. Saya juga merasa tidak ada gunanya berdemo. Selain menghabiskan waktu, jika tidak ada program maupun rencana nyata dari pendemo untuk membantu menyelesaikan masalah yang muncul, ya percuma. Belum lagi, kalau sudah anarkis, wah kacau. Tidak ingat orang tua yang nguliahin, tidak ingat jodoh (entah sudah cocok, masih penjajagan, atau masih berharap sambil ngenes di malam minggu) dan juga tidak ingat nyelesein TA.
  
Semoga Indonesia menjadi lebih bermartabat dan hebat serta merasakan keadilan lewat siapapun presiden terpilih 9 Juli nanti. Lewat tulisan ini, saya cuma mengajak masyarakat untuk tidak sekedar menjagokan bahkan sampai berjudi, tidak hanya mendengarkan janji tapi tanpa ada lanjutan aksi, tidak hanya memilih maupun tidak memilih tanpa peran hati nurani. Kalau merasakan hal yang sama dengan saya, jangan tidak datang ke TPS. Tetap gunakan hak anda, bukan untuk siapa-siapa, tapi coblos saja lambang Indonesia disana. Bagi yang sudah memiliki pilihan, yang terpenting, jangan lupakan janji mereka, jangan lupakan rayuan mereka. Ingat, kalau perlu catat! Taruh di depan tv, selotip dengan kuat! Dan bandingkan dengan cerdas. Biarkan memang rakyat yang memilih, tapi siapapun yang anda dukung, jangan lupakan bahwa yang menang harus membuktikan janjinya sekarang, tagih bersama-sama. Kalau tidak terbukti, jegal saja mulut kader-kader, mulut anggota-anggota kampanye dan mulut handai taulan yang menghipnotis anda untuk memilih apa yang mereka usung. Dan segeralah berpikir, kenapa anda sampai memilih yang tidak bisa menjaga janji-janjinya sendiri. 

Jumat, 30 Mei 2014

AKU KINI KEHILANGAN

Aku kini kehilangan
Sejuk-sayup sore hari
Waktu mandi, gegas ngaji
Berlari membalap matahari

Aku kehilangan, lagi
Dimana ujung tak terlihat, lagi
Dimana bosan mengungkung, lagi
Sekerjap-kerjap, ujung pergi
Ujung pergi, tak bisa kuraih sambil berlari
Berjalan, tak juga dapat
Merangkak, tak jua sempat
Lalu
Kehilangan lagi

Kali ini, aku yang hilang
Rasa ingin hormat, rasa ingin turun, rasa ingin beranjak, rasa ingin kekal, rasa ingin beda, rasa ingin sayang, rasa ingin hidup
Mati juga hilang kini

Kucari yang hilang, atau aku yang dicari-cari?
Kucari jalan panjang, atau aku yang mempersempit hati?
Kucari tujuan, atau aku yang lupa diri?


Lantai K'ramik, 30 Mei 2014
Dikutip dari milik pribadi

Sabtu, 10 Mei 2014

Khusnudzon Malam Minggu

            Para pembaca muda, ketika tulisan ini saya tuangkan lewat jemari saya yang segede lengkuas ini bertepatan dengan malam yang disakralkan oleh mayoritas anak muda yakni malam minggu. Ditengah kebosanan yang menumpuk dan angin yang yang berhembus sepoi, saya mencoba menelaah kenapa malam ini dianggap begitu spesial lewat kacamata khusnudzon ala saya.
            Saya sendiri menganggap malam minggu begitu spesial, ya karena pada saat saya sekolah dulu malam ini adalah menjelang hari Minggu, dimana kalau biasanya saya akan berangkat bersepeda ria (kalau tidak malas) atau main PS (kalau rental buka) atau nonton kartun (saat 'Indosiar' masih menayangkan kartun full sampai jam 12 siang) atau mungkin membantu ibu di dapur (kalau masak enak). Saat itu saya berpikir kalau memang malam ini sangat spesial karena besoknya saya bisa menghabiskan waktu saya sebagai anak-anak dan bukan diperas dengan waktu untuk pergi sekolah. Menjelang remaja saya merasa malam ini begitu spesial karena malam minggu seperti ini biasanya saya keluar dengan teman-teman untuk menghabiskan gelas es teh sambil membahas hari-hari sekolah sebelumnya.
            Yang sedikit saya herankan kenapa ada yang menganggap malam ini adalah malam dimana bisa bertemu dengan pacar, menghabiskan waktu, bersenang-senang dan lainnya. Padahal kalau mau dipikir juga selama saat sekolah bisa juga bertemu pasangan dan teman. Kalaupun berbeda sekolah ya masih bisa kan antar-jemput gitu selain malam minggu ini. Pandangan ini yang akhirnya menjadikan banyak kenakalan (baca: proses berkembang yang kurang tepat) remaja terjadi. Seks bebas, mabuk, balap liar, menjadi santapan wajib remaja pada saat malam minggu.
            Yang lebih menyedihkan lagi adalah malam minggu bagi para jomblo. Kenapa pula disebut jomblo? Siapa yang menciptakan kata itu? Anyway, malam minggu seperti sekarang adalah malam yang menjadi momok karena mereka tidak bisa keluar bersama pasangan. Padahal ya bisa juga keluar bersama teman ataupun keluarga atau belajar, mungkin? Ataukah memang sudah separah itukah hubungan keharmonisan dalam keluarga sehingga tidak sempat ada waktu bersama berjalan-jalan, diajak makan gratis atau hanya sekedar nonton tivi sambil nyemil kacang goreng plastikan di rumah?
            Yang pasti menurut saya, pandangan seperti ini sangat sangat perlu dirubah. Sudah tidak jamannya remaja melakukan hal-hal yang kurang baik pada malam ini. Sudah tidak jamannya para jomblo makin ngenes di rumah atau dimana saja dan meratap atas kekalahan yang tidak bisa dia akui. Sudah waktunya semua remaja melakukan hal positif selama malam minggu, kalau perlu setiap malam. Sudah seharusnya para remaja yang dimabuk asmara ini tidak menggunakan kesempatan untuk enak-enakan padahal masih ada teman-teman mereka yang putus asa akhirnya nongkrong tidak jelas, balapan, mabuk, atau yang parah ya terpekur nonton bokep di rumah.
            Saya sendiri sekarang sering, bahkan selalu menghabiskan malam minggu saya di kampus. Ngenet sampai bosan. Karena menurut saya malam minggu adalah satu waktu saya bisa terpekur sendiri, tanpa mbokep tentunya, dan curhat dengan diri sendiri, dengan Tuhan ataupun dengan suasana. Ketika banyak waktu yang saya habiskan untuk melihat teman-teman saya, maka saya juga butuh waktu untuk sendiri atau setidaknya nyempil menjauh dari teman-teman saya. Karena waktu untuk sendiri adalah waktu yang sangat baik bagi kesehatan jasmani dan rohani.
Semoga terhibur dengan tulisan kali ini. Tetaplah semangat dalam malam-malam kalian. Dan tidak lupa mohon maaf jika terdapat kesalahan ataupun kebetulan yang bikin kalian tidak nyaman. Akhir kata, tetap semangat, selalu bahagia dan absurdlah pada saat tertentu! Sampai jumpa!

Gazebo 4, 10 Mei 2014


Rabu, 07 Mei 2014

First Night, First Words, First Post

Kadang aku mikir, kalo memulai apapun itu harus didahului oleh sesuatu yang memang berkesan untuk ditulis. Karena itu aku selalu tidak mendapat semangat untuk menulis. Kalaupun ada, hal itu hanya akan berhenti di tengah, tanpa penyelesaian, tanpa ending, tanpa akhir. Hahaha, jadi berpikir kalau ternyata benar juga yang dikatakan teman-teman selama ini, bahwa aku adalah mahasiswa yang tidak pernah ada penyelesaiannya bahkan saat bercanda. Tidak ada yang lucu pada akhirnya dan tidak ada yang tertawa. Kalaupun ada, mereka menertawakan (dan tentunya sedikit kesal) dengan guyonanku  yang tidak lucu.
Oh ya, sebelumnya perkenalkan. Aku Roni, mahasiswa psikologi. Pada tulisan ini dibuat, aku sudah masuk semester 6, pertengahan pula. Yaaa, kalau dipikir memang sudah dekat waktuku untuk keluar dari kampusku tercinta dan masuk ke kehidupan yang jauh lebih keras. Tapi ya mau bagaimana lagi, aku cuma mahasiswa yang tidak memiliki kelebihan di bidang akademis. Bukannya bodoh juga sih, namun rasa malas ini yang selalu kujadikan alasan untuk tidak belajar, ataupun memulai sesuatu.
Kembali pada bahasan awal tentang menulis. Sebenarnya tidak perlu ada trigger khusus. Asalkan ada kemauan. Dulu, pernah kubikin semacam blog, postingan cuma dua, tentang perkenalan dan ujian matematika. Itupun dengan bahasa alay saat itu. Mau bagaimana lagi, anak muda. Semangatnya tinggi, namun pendiriannya ngambang. Tapi mungkin dari kalian banyak yang bertanya, kalau memang aku berpikir bahwa perlu ada penyebab, kira-kira apa penyebabnya pada tulisan awalku ini?
Jawabannya tidak ada. Saat ini aku menulis hanya karena nganggur di kos seharian. Malam ketika kutulis ini, angin sedang berhembus kencang. Di balkon kos kutulis ini. Yah, daripada menganggur. Dan kupikir, inilah hal paling produktif yang bisa kulakukan dan aku ingin membuatnya menjadi rutin. Mungkin di tulisan-tulisan selanjutnya, kalian akan bisa sedikit memahami bagaimana kehidupanku. Bukan bermaksud pamer, tapi ya memang kebutuhan manusia kan untuk membuktikan eksistensinya? Dan inilah caraku. Kuharap juga hal ini bisa memberikan inspirasi bagi kalian yang membaca. Minimal untuk bersemangat membuktikan eksistensi kalian tanpa mengganggu sekitar.
Terimakasih sudah membaca tulisan pertamaku disini. Semoga terhibur dengan tulisan-tulisanku. Dan mohon maaf jika terdapat kesalahan ataupun kebetulan yang bikin kalian tidak nyaman. Akhir kata, tetap semangat, selalu bahagia dan absurdlah pada saat tertentu! Sampai jumpa!


Balkon kos, 7 Mei 2014